Diberdayakan oleh Blogger.

Dilema Uang Panai (Panai Part I)

by - April 13, 2017



L : Siapa namamu?
P : Andi Mei...
L ; Orang makasar ya?
P : Iya
L : Bugisnya dari mana?
P : hmm.. Bulukumba..
L : Duh , mahal banget donk uang panainya
P : ..............................



Uang Panai oh Uang Panai
Tidak sedikit teman temanku bertanya tentang menikah dan uang panai. Percayalah aku sendiri orang Bugis yang menyandang nama Andi tidak begitu suka membahasnya. Dan hari ini sepertinya waktu yang cukup tepat membahas tentang adat yang cukup menjadi momok yang menakutkan bagi seorang laki laki, bahkan saya sendiri sedikit takut dibuatnya.


Pastinya nggak asing dengan istilah uang Panaik atau Panai dalam adat pernikahan asli suku Bugis. Ya, panaik itu mendefinisikan sebuah aturan untuk memberikan harta benda dari pihak cowok ke pihak keluarga cewek untuk melangsungkan pernikahan. Ukuran besaran harta benda ini tergantung kedudukan dan pendidikan si cewek. Jadi, semakin tinggi pendidikan atau keturunan (ningrat) si cewek, semakin tinggi pula uang Panaik yang diberikan.
Aturan ini sudah ada di tradisi suku Bugis sejak lama. Namun dalam praktiknya, banyak sumber yang menyebutkan bahwa tradisi ini menuai kontroversi karena dianggap sebuah proses ‘membeli’ si cewek untuk diperistri. Benarkah seperti itu?

Doe’ Panai
Uang Panai atau Doe’ Panai (dalam bahasa Makassar) atau Doe’ Paenre’ (dalam bahasa Bugis, berarti uang naik. Yakni sejumlah uang yang diberikan kepada calon mempelai wanita. Uang tersebut dimaksudkan untuk keperluan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya.
Dengan demikian, uang panai tidak termasu mahar. Uang Panai termasuk uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga. 


Uang Panaik atau Panai, diberikan oleh calon suami kepada keluarga calon istri sebelum pernikahan di adat suku Bugis

Sebelum akad atau pengukuhan suami istri, dilakukan tawar menawar tentang jumlah uang panaik yang diberikan. Ukurannya ya sesuai dengan yang diminta. Uang panaik ini berbeda dengan mahar. Kalau mahar ada sendiri. Nah, khusus untuk panaik memang hanya ada di adat pernikahan suku Bugis-Makassar. Jika di suku lain juga ada proses ‘tawar-menawar’ uang sebelum nikah, Istilahnya mungkin lain.


Jadi, dalam tradisi pernikahan adat suku Bugis-Makassar, tidak hanya mematokkan mahar sebagai syarat pernikahan, tetapi ada juga uang naik (panai’) yang harus disiapkan ketika sebelum memutuskan untuk menikah.
Uang panai’ adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya. Uang panai’ ini tidak terhitung sebagai mahar penikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga. 


Gosip nominal Uang Panai
"Kabar burung"
Banyak kabar burung mengenai berapa nominal uang panai yang perlu dipersiapkan oleh calon laki laki bila ingin meminang gadis Bugis.  Salah satu seperti yang pernah diposting di blogger tetangga:


"Kalimat Uang Panai’ makin hari menjadi momok bagi para pemuda Bugis-Makassar yang ingin melamar pujaannya terlebih jika ia berasal dari suku yang sama. Mengapa seperti itu? Sudah jadi rahsia umum jika uang panai’  nominalnya sangat tinggi bahkan mencapai miliaran. Apalagi jika wanita yang ingin dilamarnya memiliki ciri seperti ini:
  • Tingkat strata sosial yang tinggi (Karaeng, Andi, Puang).
  • Berasal dari golongan darah biru (Raja Gowa, Bone)
  • Pendidikan yang tinggi (S1, S2, S3, Prof. Dr…..)
  • Cantik *semua pasti miliki ini*
  • Anak tunggal
  • Dari keluarga berada dan terpandang
  • Memiliki pekerjaan yang tetap (PNS, Dokter, Guru)
  • Hajjah
Bahkan ada beberapa anak muda (termasuk teman kampus saya) yang sering melontarkan candaan seperti ini  :
Tamat SMA: 50 jutaTamat S1: 75 jutaTamat S2 + cantik: 100 jutaTamat S2 + cantik + haji + PNS + anak satu-satu (tunggal) : takkala bunuh ma! “sekalian bunuh saja diriku. Jual ginjal ga cukup”.
Ironi memang, tapi kita tidak akan mampu menghilangkan adat yang telah mendarah daging cukup kental termasuk tradisi ini. Tak jarang uang panai’  terus bertambah nominalnya karena ada campur tangan dari keluarga inti pihak perempuan yang dianggap andil dalam menentukan suatu kesepakatan.
Fakta
Besar nominal uang panai tidak seperti gosip diatas. Bisa jadi benar bisa jadi tidak. Semua tergantung oleh diskusi antara "keluarga adat calon mempelai perempuan" dengan keluarga laki laki. Karena yang didiskusikan bukan hanya uang panai , melainkan biaya pernikahan dan lain lain. Karena dalam pertemuan keluarga seperti itu juga pastinya akan memperhatikan bagaimana kondisi si laki laki dan keluarganya. Dan tidak semua harga uang panai tidak bisa ditawar, percayalah masih ada keluarga yang benar benar mengerti hakekat pernikahan tapi jangan lupa berusaha buat meminang perempuan Bugis. Perempuan Bugis juga bantu calonnya. Masa mau ga nikah sama pujaan hati karena uang panai... Duh...

Kenapa ada Panaik?

Konon, ini adalah simbol dan juga pemacu para cowok-cowok Bugis untuk semangat mencari rejeki untuk calon gadis pujaan. Kenapa ada uang Panaik? Ini karena merupakan simbol adanya perjuangan yang harus dilakukan oleh seorang cowok untuk mendapatkan cinta gadis Bugis pujaan. Menurut tradisi Bugis yang diceritakan secara turun temurun, cinta adalah hal yang mahal dan nggak bisa sembarang orang dapatkan. Terlebih jika gadisnya adalah yang punya kualitas tinggi yang diukur dari tingkat pendidikan dan keturunan keluarga. Tak sembarang cantik, tapi juga baik dan berkualitas. Itulah nilai yang diangkat di tradisi Panaik suku Bugis-Makassar.

Berawal dari nenek moyang

Orang Bugis terkenal sebagai pelaut. Mereka berkelana mencari rejeki di tengah lautan untuk melamar gadis pujaan sekembalinya ke daratan. Panaik adalah model dan pengejawantahan dari kebiasaan suku Bugis yang memang seorang pelaut dari dulunya. Mereka (para cowok Bugis) terbiasa untuk berkelana ke lautan luas untuk mencari rejeki dan sepulangnya dari melaut, mereka melamar gadis pujaan yang menunggu mereka. Besarnya uang panaik sengaja diberikan oleh mereka kepada gadis pujaannya yang senantiasa menunggu kepulangan mereka. Dari dulu saja sudah digambarkan bagaimana mahalnya sebuah kesetiaan dan perjuangan orang yang jatuh cinta. 



Antara Matrealistis dan Realistis
“Mengapa orang Bugis rajin bekerja? Karena mereka punya banyak keinginan-keinginan. Mereka ingin menikah dengan panai’ (uang naik) yang tinggi. Setelah itu mereka ingin punya rumah. Setelah itu mereka mau naik haji. Kalau sudah haji, mereka ingin kawin lagi. Maka prosesnya kembali dari awal” – Jusuf Kalla
Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari suku Bugis-Makassar, memenuhi jumlah uang panai’ juga dapat dipandang sebagai praktik budaya siri’, jadi wanita yang benar-benar dicintainya menjadi motivasi yang sangat besar untuk memenuhi jumlah uang panai’ yang di syaratkan. Sering terjadi saat mempelai pria tak mampu memenuhi permintaan itu, umumnya menebus rasa malu itu dengan pergi merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan. Tapi terkadang kenyataan tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Wanitanya telah lebih dulu menikah sebelum ia kembali akibat dorongan keluarga atau terlalu lama sendiri. 
Namun saat ini uang Panaik kerap dinilai sebagai kontroversi. Karena diibaratkan ‘membeli’ seorang wanita untuk diperistri

Namun pada praktiknya sekarang, uang Panaik kerap menimbulkan kontroversi. Ya, selain karena pria Bugis kini tak hanya berprofesi sebagai pelaut, juga dinilai wujud komersial ‘membeli’ wanita untuk diperistri. Juga ada yang menimbang dari sisi agama, bahwa uang Panaik bukanlah mahar yang disyariatkan. Hmm, jadi bingung kan? 


Setiap hal akan selalu menimbulkan berbagai persepsi, termasuk adat ini. Sebagian orang yang kurang paham memahami ini sebagai “harga anak perempuan” atau bahkan dipersepsikan sebagai perilaku “menjual anak perempuan”. Bagi pria daerah lain yang membutuhkan modal yang tidak begitu banyak untuk pernikahan seperti pria Kalimantan atau Jawa atau lainnya, sangat wajar jika mempersepsikan uang panai’ sebagai harga seorang anak perempuan Makassar karena pada daerah asalnya tidak demikian banyaknya. Begitupun dengan individu yang menganggap kemegahan pernikahan bukanlah jaminan sejahteranya kehidupan rumah tangga kedepan.
Kembali ke judul tulisan saya, “Dilema Uang Panai" untuk melamar Wanita Bugis-Makassar, ini bukan menutup akses untuk para pria tidak melamar wanita-wanita dari suku tersebut. Disinilah mental seorang pria yang bersungguh-sungguh diujiTerkadang ada kalimat lelucon yang muncul mengenai ini, “Lautan akan ku sebrangi, gunung kan ku daki, tapi uang panai’mu tidak mampu ku takluki”.
Wanita Bugis terkenal akan kesetiaannya kepada pasangannya hal ini bisa dilihat dari rendahnya angka perceraian yg terjadi di Sulawesi-Selatan. Selain itu sejak dahulu orang Bugis SulSel terkenal sebagai pelaut ulung meskipun mereka melaut beberapa bulan  hingga tahunan namun istrinya tetap setia menunggu kedatangan suaminya.
Semua kembali ke individu masing-masing, ketika ada niat yang kuat, selalu dibukakan jalan. Tradisi ini bukanlah sebagai media untuk mempertontonkan siapa yang ‘mahal’ siapa yang ‘murah’. Melainkan dari tradisi ini kita belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu, harus berusaha dan bekerja keras untuk memenuhinya.
Mengutip kalimat salah satu blogger handal daerah:
Sebagai perempuan, kita harus pandai melihat diri. Jadilah perempuan Bugis yang materru’ (berani) dan malampe’ nawa nawa (bijaksana dan cerdas) agar kita pantas untuk seorang lelaki yang berkarakter joa (pemimpin) dan memiliki prinsip alempureng (kejujuran) dan assitanajangeng (kepantasan).
Uang panai’ merupakan bentuk penguatan ekonomi dan budaya masyarakat Bugis-Makassar. Akan tetapi, jika sudah melampaui norma-norma kepantasan dan telah melenceng jauh dari yang diamanahkan oleh syariah, akal sehat dan cita-cita dari mereka yang saling mencintai, tentu akan berbeda subtansi dan fungsinya. 



Selanjutnya 











bersambung................................






Percakapan antara anak dan ibu (Panai Part II)
Sumber : berbagai blog 
Foto Pernikahan Sepupu

Penulis
Andi Meiria Kurnia Utami

You May Also Like

2 komentar

  1. Pusing dgn uang panaik, di satu sisi sayang sama dia, di sisi yg lain untuk memilikinya harus "membeli", konotasi yg niat awalnya baik untuk melamar / menikah jadi jatuh hanya karena uang ini. Menikah adalah suatu tujuan mulia, hendaknya jgn di persulit / di perberat. Kasihan anaknya, mereka ingin menikah, tapi di halangi oleh batas uang panaik yg tidak bisa di ganggu gugat, kumpul kebo aja mendingan

    BalasHapus