‘’ PLASEBO PERDA DIY ”
Hari Minggu
tanggal 06 Oktober 2013 Organisasi PEMBEBASAN YOGYAKARTA mengadakan comunitas visit
(CV) di desa Parang Kusumo yang berada di tepian pesisir pantai Parang Tritis
yang wilayahnya di anggap sebagai wilayah negara dan tanahnya juga di klaim
milik Sultan Hamengkubuwono.
Disini kami mendengarkan
apirasi masyarakat yang tergabung oleh oraganisasi yang bernama ARMP (Aliansi
Rakyat Menolak Penggusuran) yang telah lama menjadi polemik
masyarakat Desa Parang Kusumo yang pemukimannya dan lahan kerjanya mau diambil
oleh Pemerintah dengan berbagai cara yang telah direncanakan.
Dalam
penggusuran ini para rakyat Parang Kusumo haknya seakan-akan di abaikan dengan
tidak adanya sosialisasi dan partisipasi dalam musyawarah untuk menemukan
solusi dari permasalahan penggusuran ini.
Sejak tahun 2006
warga Parang Kusumo hidup di bawah ancaman penggusuran. Kurang lebih 300 rumah
warga telah digusur. Dengan dalih penataan kawasan pantai, Pemerintah Daerah
Bantul dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melabeli warga
Parang Kusumo sebagai penduduk liar menempati Sultanaat Ground (SG- tanah kerajaan),
bermukim terlalu dekat dengan pantai sehingga mengganggu kerapian, dan
melakukan prostitusi ilegal. Kepemilikan tanah sudah bergeser dari tangan
rakyat ketangan penguasa dan pengusaha besar. Rakyat dianggap sebagai selilit
yang mengganggu dimulut yang bisa dibuang kapan saja.
Jika kita telusuri lebih dalam agenda
tersembunyi dari penggusuran ini, terselip kepentingan penguasa yang akan
menjadikan wisata Parang Kusumo sebagai barang dagangan insvestor asing dengan
Mega Proyek yang nilai investasinya tidak dalam jumlah yang sedikit. Suatu
industri pariwisata mewah yang dibangun diatas penderitaan rakyat karena tempat
tinggal mereka digusur dan dianggap sebagai bangunan liar yang tidak layak diberikan
konvensasi dari pemerintah setempat. Secara tidak langsung penggusuran ini cuma
bermaksud semakin menyudutkan warga setempat sehingga proses penggusuran
nantinya tidak dipermasalahkan masyarakat luas karena adanya prostitusi.
Dilain pihak,
demokrasi langsung yang di banggakan oleh pemerintah dari dan untuk rakyat
semakin abu-abu dan tak berarah. Kebijakan yang dibuat oleh Pemprov DIY dan
Pemkab Bantul tidak melibatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan
dan pengajuan pendapat tentang daerah mereka yang menjadi inti permasalahan. PERATURAN DAERAH
PROSTITUSI KABUPATEN BANTUL NO.05 TAHUN 2007 yang berasas kan agama
menjadi alasan utama untuk sebagai tameng pemerintah dalam melalukan
penggusuran. Bahwa prostitusi terjadi karena adanya moral yang rendah, bahwa
prostitusi terjadi karena tidak bisa melaksanakan syariat agama dengan benar,
bahwa prostitusi adalah penyakit masyarakat yang harus dituntaskan secepat
mungkin.
Lalu muncullah
satu pertanyaan di benak kita. Kenapa adanya prostitusi di daerah tersebut?
Tanpa pemerintah tahu dan sadari adanya prostitusi ini juga dapat disebabkan oleh
kegagalan pemerintah memberi kesejahteraan dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Sebagian besar alasan mereka terpaksa memasuki dunia prostitusi karena desakan
ekonomi. Sebagian lagi karena tekanan perceraian dan beban menghidupi tanggung
jawab mereka sebagai single parent.
Apalagi hampir sebagian besar dari mereka yang tidak dapat menyelesaikan
pendidikannya. Sudah jelas rakyat miskin melakukan berbagai cara untuk
mendapatkan sesuap nasi dan bertahan hidup di dunia yang cukup keras ini.
Perda Prostitusi
juga secara tidak langsung menyiksa kehidupan warga Parang Kusumo. Perda ini
juga sering dijadikan Kambing Hitam para pejabat setempat untuk mendapatkann
keuntungan lebih banyak dari kegiatan penangkapan para wanita-wanita yang
dicurigai sebagai pekerja prostitusi.
Ditengah
masyarakat ada 2 pendapat tentang perda prostitusi ini. Di satu sisi di setujui
masyarakat karena prostitusi melanggar nilai-nilai norma dan agama, disisi lain
hal ini di tolak keras demi nilai
ekonomi yakni dapat memenuhi kebutuhan hidup individualis mereka. Sebagian
orang memahami istilah ini secara subjektif dan komperatif, sementara yang
lainnya melihat dari segi norma dan evaluatif.
Apapun bentuknya
dalam prostitusi kita harus menyadari bahwa mereka tetap mempunyai hak
asasi yang sama dengan kita tanpa adanya
perbedaan sedikitpun juga. Keperbihakan itu bukan berarti kita menyetujui akan
adanya kegiatan prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang
berperi kemanusiaan selama kita tidak mendapatkan solusi yang lebih baik dari
prostitusi itu sendiri.
Jangan lah kita
melihat, menilai, apalagi menghakimi baik buruknya seseorang dari apa yang ia
perbuat karena hal tersebut adalah suatu urusan manusia dan Tuhannya.
Bagaimanapun juga niat mereka yang melakukan prostitusi seharusnya lebih patut
dihargai jika dibandingkan dengan para pengusaha berdasi yang dihormati tetapi
juga diam-diam memakan uang rakyat dan menindas hak yang ada pada rakyatnya
sediri.
YOGYAKARTA, 12
OKTOBER 2013
TAMSIS.NYUTRAN
“Dhani Hidayat
Harmen”
“Andi Meiria
Kurnia Utami”
0 komentar