Diberdayakan oleh Blogger.

‘’ PLASEBO PERDA DIY ”

by - Oktober 12, 2013



Hari Minggu tanggal 06 Oktober 2013 Organisasi PEMBEBASAN YOGYAKARTA mengadakan comunitas visit (CV) di desa Parang Kusumo yang berada di tepian pesisir pantai Parang Tritis yang wilayahnya di anggap sebagai wilayah negara dan tanahnya juga di klaim milik Sultan Hamengkubuwono.
Disini kami mendengarkan apirasi masyarakat yang tergabung oleh oraganisasi yang bernama ARMP (Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran) yang telah lama menjadi polemik masyarakat Desa Parang Kusumo yang pemukimannya dan lahan kerjanya mau diambil oleh Pemerintah dengan berbagai cara yang telah direncanakan.
Dalam penggusuran ini para rakyat Parang Kusumo haknya seakan-akan di abaikan dengan tidak adanya sosialisasi dan partisipasi dalam musyawarah untuk menemukan solusi dari permasalahan penggusuran ini.
Sejak tahun 2006 warga Parang Kusumo hidup di bawah ancaman penggusuran. Kurang lebih 300 rumah warga telah digusur. Dengan dalih penataan kawasan pantai, Pemerintah Daerah Bantul dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melabeli warga Parang Kusumo sebagai penduduk liar menempati Sultanaat Ground (SG- tanah kerajaan), bermukim terlalu dekat dengan pantai sehingga mengganggu kerapian, dan melakukan prostitusi ilegal. Kepemilikan tanah sudah bergeser dari tangan rakyat ketangan penguasa dan pengusaha besar. Rakyat dianggap sebagai selilit yang mengganggu dimulut yang bisa dibuang kapan saja.
 Jika kita telusuri lebih dalam agenda tersembunyi dari penggusuran ini, terselip kepentingan penguasa yang akan menjadikan wisata Parang Kusumo sebagai barang dagangan insvestor asing dengan Mega Proyek yang nilai investasinya tidak dalam jumlah yang sedikit. Suatu industri pariwisata mewah yang dibangun diatas penderitaan rakyat karena tempat tinggal mereka digusur dan dianggap sebagai bangunan liar yang tidak layak diberikan konvensasi dari pemerintah setempat. Secara tidak langsung penggusuran ini cuma bermaksud semakin menyudutkan warga setempat sehingga proses penggusuran nantinya tidak dipermasalahkan masyarakat luas karena adanya prostitusi.
Dilain pihak, demokrasi langsung yang di banggakan oleh pemerintah dari dan untuk rakyat semakin abu-abu dan tak berarah. Kebijakan yang dibuat oleh Pemprov DIY dan Pemkab Bantul tidak melibatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan dan pengajuan pendapat tentang daerah mereka yang menjadi inti permasalahan. PERATURAN DAERAH PROSTITUSI KABUPATEN BANTUL NO.05 TAHUN 2007 yang berasas kan agama menjadi alasan utama untuk sebagai tameng pemerintah dalam melalukan penggusuran. Bahwa prostitusi terjadi karena adanya moral yang rendah, bahwa prostitusi terjadi karena tidak bisa melaksanakan syariat agama dengan benar, bahwa prostitusi adalah penyakit masyarakat yang harus dituntaskan secepat mungkin.
Lalu muncullah satu pertanyaan di benak kita. Kenapa adanya prostitusi di daerah tersebut? Tanpa pemerintah tahu dan sadari adanya prostitusi ini juga dapat disebabkan oleh kegagalan pemerintah memberi kesejahteraan dan penyediaan lapangan pekerjaan. Sebagian besar alasan mereka terpaksa memasuki dunia prostitusi karena desakan ekonomi. Sebagian lagi karena tekanan perceraian dan beban menghidupi tanggung jawab mereka  sebagai single parent. Apalagi hampir sebagian besar dari mereka yang tidak dapat menyelesaikan pendidikannya. Sudah jelas rakyat miskin melakukan berbagai cara untuk mendapatkan sesuap nasi dan bertahan hidup di dunia yang cukup keras ini.
Perda Prostitusi juga secara tidak langsung menyiksa kehidupan warga Parang Kusumo. Perda ini juga sering dijadikan Kambing Hitam para pejabat setempat untuk mendapatkann keuntungan lebih banyak dari kegiatan penangkapan para wanita-wanita yang dicurigai sebagai pekerja prostitusi.
Ditengah masyarakat ada 2 pendapat tentang perda prostitusi ini. Di satu sisi di setujui masyarakat karena prostitusi melanggar nilai-nilai norma dan agama, disisi lain hal ini di tolak keras  demi nilai ekonomi yakni dapat memenuhi kebutuhan hidup individualis mereka. Sebagian orang memahami istilah ini secara subjektif dan komperatif, sementara yang lainnya melihat dari segi norma dan evaluatif.
Apapun bentuknya dalam prostitusi kita harus menyadari bahwa mereka tetap mempunyai hak asasi  yang sama dengan kita tanpa adanya perbedaan sedikitpun juga. Keperbihakan itu bukan berarti kita menyetujui akan adanya kegiatan prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperi kemanusiaan selama kita tidak mendapatkan solusi yang lebih baik dari prostitusi itu sendiri.
Jangan lah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi baik buruknya seseorang dari apa yang ia perbuat karena hal tersebut adalah suatu urusan manusia dan Tuhannya. Bagaimanapun juga niat mereka yang melakukan prostitusi seharusnya lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para pengusaha berdasi yang dihormati tetapi juga diam-diam memakan uang rakyat dan menindas hak yang ada pada rakyatnya sediri.
 
YOGYAKARTA, 12 OKTOBER 2013
TAMSIS.NYUTRAN

“Dhani Hidayat Harmen”
“Andi Meiria Kurnia Utami”

You May Also Like

0 komentar